Di bulan Ramadhan, Pasar Senen, seperti saudara kembarnya, Pasar Tanah Abang, banyak didatangi pemnbeli. Mereka mencari barang-barang kebutuhan lebaran. Kedua pasar yang berada di Jakarta Pusat itu dibangun pertama kali oleh Justinus Pink — seorang petinggi Hindia Belanda — pada abad ke-18.
Kini kedua itu saling berlomba untuk menjadi pasar terbesar di tanah air. Tidak henti-hentinya kedua pasar yang telah berusia hampir tiga abad itu terus memperluas diri.
Baiklah, kita beralih ke situasi Kramat-Pasar Senen pada tahun 1935, atau 72 tahun yang lalu. Di depan pasar, tempat kini berdiri Atrium Senen, dulu terdapat Apotik Rathkamp yang setelah kemerdekaan menjadi Kimia Farma. Dulu daerah ini disebut Gang Kenanga. Di sini terdapat toko sepeda terkenal, Tjong & Co.
Kala itu sepeda merupakan kendaraan yang paling banyak digunakan masyarakat mulai dari murid sekolah, pegawai, hingga pedagang. Sepeda yang terkenal kala itu bermerek Humber, Raleigh, Royal & Fill, Fongers dan Hercules.
Pada masa kolonial dan awal kemerdekaan, memiliki sepeda harus memakai peneng — semacam pajak seperti STNK untuk mobil. Naik sepeda pada malam hari harus memakai lampu. Mula-mula lampu minyak, kemudian menggunakan berco yang ditempelkan pada ban depan saat berjalan. Tanpa peneng dan lampu, sepeda akan ditahan polisi untuk kemudian di proses ke landracht (pengadilan) — istilah sekarang ditilang.
Ketika itu, meskipun ada polisi yang ceker ayam alias telanjang kaki, mereka sangat ditakuti. Denda pelanggarannya bisa mencapai lima gulden, setara dengan gaji golongan menengah kebawah. Tidak ada polisi yang mau menerima ‘uang rokok’ alias makan sogokan. Mereka yang melakukan pelanggaran berat bisa dipenjara selama sebulan.
Kala itu, bioskop Grand — kemudian Kramat Theater — masih bernama Rex Theater. Di depannya terdapat trem yang menghubungkan Meester Cornelis (Jatinegara) dengan Pasar Ikan lewat Senen, Pasar Baru, Sawah Besar dan Glodok. Pada masa kolonial, keturunan Arab dan Tionghoa harus naik trem di kelas dua, dan Belanda di kelas satu. Sedangkan pribumi di kelas tiga.
Ada juga trem dari Jatinegara ke Gunung Sahari dan Ancol. Sampai tahun 1950-an hampir tidak ada sopir yang berani melewati Ancol pada malam hari. Karena di sekitar jembatan Ancol (kini tempat masuk ke Taman Impian Jaya Ancol) masih berupa hutan belukar penuh monyet yang sering berhamburan keluar. Ditambah adanya isu si Manis dari jembatan Ancol yang sering muncul mengganggu para sopir yang lewat di malam hari.
Di Pasar Senen saat itu banyak bermunculan toko milik orang Jepang, yang statusnya oleh Belanda disamakan dengan golongan Eropa. Harga barang-barang di toko milik orang Jepang jauh lebih murah katimbang produk Eropa dan lokal.
Ternyata sebagian besar warga Jepang itu adalah mata-mata. Mereka rupanya telah menyiapkan diri untuk menaklukkan Hindia Belanda yang dibuktikan pada Perang Dunia II.
Di Pasar Senen juga terdapat tukang peci Idris Halim merek Pantas. Konon, Bung Karno selalu memesan peci dari tempat ini. Antara Bioskop Rex dan Tanah Tinggi banyak toko dan kafe bermunculan. Seperti Padangsche Buffert — mungkin rumah makan pertama di Jakarta.
Pada tahun 1950-an di Senen terdapat rumah makan padang Ismail Merapi. Di sinilah tempat para seniman Senen, seperti Sukarno M Noor, Wahyu Sihombing, Sumandjaya, Menzano, Wahid Chan, termasuk HB Yassin dan Djamaluddin Malik ngumnpul. Letak rumah makan ini di pintu gerbang pertama Proyek Senen.
Saat itu toko yang paling terkenal di Pasar Senen adalah Baba Gemuk dan Baba Jenggot. Kasirnya menghitung uang belanjaan dengan shempoa yang tidak kalah cepatnya dengan sistem komputer. Di dekatnya ada toko batik milik Ahmad bin Alwi Shahab, raja batik asal Pekalongan. Di pasar ini juga terdapat toko sepeda H Ma’ruf, yang putranya pada 1950-an membangun bioskop Garden Hall di Taman Ismail Marzuki.
Di Gang Kwini, dekat RS Gatot Subroto, terdapat kediaman Djohan Djohor — pengusaha kenamaan — kawan baik Bung Hatta. Pada tahun 1930-an ada seorang pribumi yang menjadi pengusaha perdagangan dan perkapalan Dasaad Concern. Sedangkan pengusaha Arab terkenal saat itu adalah Marba, singkatan dari nama Marta dan Bajened. Yang terakhir ini pada tahun 1950-an mati ditembak oleh Bir Ali dari Cikini yang hendak merampoknya.
Rupanya kegiatan Zionis di Indonesia sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu. Dulu, di samping Gedung Departemen Keuangan di Lapangan Banteng terdapat ‘rumah setan’ — tempat perkumpulan Freemason — suatu gerakan zionis di Indonesia. Freemason dalam kegiatannya menggunakan kedok persaudaraan, kemanusiaan, tak membedakan agama dan ras, warna kulit maupun gender serta tingkat sosial di masyarakat.
Di Jl Kramat dekat Senen, ketika itu Snouck Hurgronye — seorang orientalis Belanda yang menyamar sebagai Muslim — bertempat tinggal. Ia menguasai bahasa Artab dan Islam. Snouck pergi ke Mekah dan Madinah — tempat yang terlarang bagi non Islam.
Menurut sejarawan Mr Hamid Algadri, Snouck bukan saja bertindak sebagai ilmuwan yang ingin mengabdikan ilmunya untuk kepentingan politik kolonialisme Belanda di Indonesia, tapi untuk tujuan itu dia juga menjauhkan orang Indonesia dari keturunan Arab yang baginya identik dengan Islam.
Oleh Alwi Shahab (Budayawan Betawi)